KUNGFU SABLENG Karya : Bastian Tito PENDEKAR PISPOT NAGA (THE DRAGON PISPOT) SATU PERGURUAN kungfu Ban Yak Cing Cong yang dipimpin oleh Tong Pes mengalami kekurangan biaya dan terancam gulung tikar alias tutup. Karenanya sang suhu menyuruh salah seorang muridnya yang terpercaya yaitu Tek Lok pergi ke kotaraja untuk menggadaikan seperangkat pispot antik. Pispot-pispot itu sangat mahal harganya karena konon berasal dari zaman dinasti Cong Ngek 600 abad silam. Maka berangkatlah Tek Lok selama beberapa hari. Ketika ia pulang dari kotaraja alangkah kagetnya pemuda bertubuh gemuk tambun itu karena mendapatkan perguruannya telah diobrak-abrik orang. Di halaman depan bergeletakan sebelas saudara seperguruannya, kebanyakan sudah tidak bernafas lagi. Dua tiga orang memang masih terdengar mengerang. Tapi tak mungkin ditolong karena sebentar lagi mereka pasti akan meregang nyawa. Sementara itu di serambi depan Tek Lok menyaksikan suhunya bersama seorang murid tingkat utama tengah bertempur mati-matian melawan seorang tinggi besar berdandan aneh. Orang ini mengenakan jubah kuning dengan hiasan naga hitam di bagian dada dan punggung. Di batok kepalanya nangkring satu topi aneh yang bukan lain adalah sebuah pispot putih dihiasi gambar-gambar naga. Ternyata si topi pispot lawan sang suhu memiliki kungfu luar biasa. Gerakannya cepat sekali, laksana bayang-bayang dikejar setan. Ketua perguruan dan muridnya terdesak hebat hanya dalam beberapa jurus saja. Selain itu yang membuat mereka jadi kelabakan ialah karena setiap gerakan yang dibuat lawan, dari balik jubah kuningnya menghambur bau tidak sedap, yakni seperti bau kotoran manusia. “Jangan-jangan ini olang habis buang ail besal belum cebok alias ngepet!” pikir Tek Lok yang memang cadel dari sononya. Dalam satu gebrakan hebat kepala si tinggi besar yang disungkup pispot tahu-tahu sudah menghantam dada murid utama. Lelaki kurus kerempeng ini menjerit keras dan terpental. Tubuhnya terbanting di tanah. Dadanya remuk. Tak berkutik lagi. Darah mengucur dari mulutnya. Mata mendelik jereng. Tit sudah! Sadar kalau seorang diri dan hanya mengandalkan tangan kosong dia tidak akan dapat menghadapi lawan yang begitu lihay maka ketua perguruan Ban Yak Cing Cong segera hunus sebilah golok panjang yang terselip di belakang punggungnya. “Manusia terkutuk!” memaki Tong Pes. “Hari ini biar pinceng mengadu nyawa denganmu!” Si topi pispot tertawa bergelak. “Tong Pes! Dulu aku minta kau menjual pispot-pispot antik itu padaku. Tapi kau menolak dengan sombong! Kau malah menyuruh orang menjualnya ke kotaraja! Hari ini kau bicara segala macam soal adu nyawa! Rupanya kau punya banyak nyawa serep. Aku tuan besarmu Tong Siam Pah akan melayani! Walau begadang sampai pagi sekalipun! Ha... ha... ha!” Tong Pes kertakkan geraham. Dengan suara menggembor dia putar goloknya laksana curahan hujan. Namun sayang, bagaimanapun hebatnya ilmu golok ketua perguruan kungfu Ban Yak Cing Cong itu dia bukanlah tandingan si topi pispot yang mengaku bernama Tong Siam Pah. Setengah mempermainkan lawannya, setiap Tong Pes membacok, menusuk atau membabatkan goloknya, Tong Siam Pah sengaja angsurkan kepalanya. Maka terdengarlah suara tring... treng... trang... kling berulang kali. Sesekali suara beradunya golok dengan pispot itu diseling suara ngek! Yakni suara yang keluar dari mulut Tong Pes akibat jotosan atau tendangan lawan yang mendarat di ulu hatinya! Tek Lok yang sembunyi di balik sumur menyadari bahaya besar yang tengah mengancam suhunya. Karena tidak ingin dianggap sebagai murid tidak berbakti alias puthauw tanpa pikir panjang Tek Lok segera menyerbu ke tengah kalangan pertempuran guna membantu sang suhu. Namun baru saja dia hendak bergerak mendadak satu tangan yang kuat mencengkeram tengkuknya hingga saking kagetnya Tek Lok sampai keluarkan kentut. Lehernya seperti digencet japitan besar. Kepalanya tidak bisa digerakkan barang sedikitpun! “Kulang ajal!” maki Tek Lok. Tek Lok kirimkan satu tendangan kungfu ke belakang. Inilah jurus yang disebut “kuda bunting menendang jantan gatal”. Tapi apa lacur, orang yang hendak ditendang rupanya sudah tahu apa yang hendak dilakukan Tek Lok. Dengan cepat dia totok urat besar tepat di atas tulang tunggir murid perguruan Ban Yak Cing Cong yang bertubuh tambun gendut ini. Tak ampun Tek Lok langsung menjadi lumpuh kaku. Tapi mulutnya masih bisa dibuka. Maksudnya mau memaki. Tapi inipun gagal karena di belakang orang yang membokongnya dengan satu gerakan cepat menyumpal mulutnya dengan sebutir buah mengkudu hutan setengah busuk. Membuat Tek Lok bukan saja megap-megap mendelik sulit bernafas tapi juga mau muntah karena tidak tahan bau busuknya buah mengkudu yang menyangsrang di mulutnya itu! “Anak tolol!” terdengar suara orang memaki di belakangnya. “Apa otakmu di selangkangan dan selangkanganmu menempel di otak mau ikut-ikutan berkelahi! Apa kau buta dan gila berani menantang gunung Thaysan? Selusin saudara seperguruanmu sudah dibuat menghadap Thian alias tit semua! Apalagi kau cuma sendirian! Dasar toylol!” Tek Lok hanya bisa memaki panjang pendek dalam hati. Tapi diam-diam dia menyadari. Suhunya yang begitu tinggi kepandaian kungfu serta ilmu goloknya hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh si jubah kuning bertopi pispot itu! Sedangkan dia sendiri cuma seorang murid perguruan tingkat menengah! Sementara itu di serambi sana Tek Lok melihat orang bertopi pispot berhasil menyeruduk perut suhunya. Tong Pes mencelat mental, jatuh terduduk di lantai serambi. Selagi dia mencoba bangkit, lawan sudah kirimkan tendangan keras ke kepalanya. Kepala Tong Pes tersentak ke belakang, tubuhnya terlempar melintir, roboh di tanah dan saat itu juga dia sampai pada hari apesnya. Mati! “Suhu!” Teriak Tek Lok. Tapi teriakannya hanya sampai di tenggorokan karena mulutnya masih tersumbat mengkudu busuk. Kedua tangannya dikepal geram. Mukanya merah, tubuhnya bergetar dan air mata mengucur jatuh ke pipinya yang rada-rada peang. Dengan mengeluarkan suara tertawa bergelak orang bertopi pispot hancurkan papan nama perguruan Ban Yak Cing Cong lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat kemudian Tek Lok merasakan pembokongnya melepaskan totokan di tunggirnya. Dengan cepat Tek Lok mencabut buah mengkudu yang mendekam di mulutnya lalu berpaling ke belakang seraya lancarkan satu jotosan keras dalam jurus bernama “monyet kondor menghajar puncak Thaysan”. Tapi dia hanya menghantam tempat kosong. Orang yang tadi membokongnya telah lenyap entah ke mana! *** DUA DI HADAPAN Tek Lok berdiri seorang lelaki bermata jereng. Rambutnya kaku jabrik, pakaiannya compang-camping, penuh tambalan dan bau. Pada pinggangnya bergelantungan berbagai macam dan ukuran kaleng-kaleng kosong. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu kecil. “Tek Lok,” orang tak dikenal menegur. Si pemuda merasa heran, bagaimana orang itu tahu namanya, “Aku adalah gembel tua yang dijuluki Pendekar Pensiunan Pengemis. Adik kandung suhumu yang sudah menghadap Thian. Jadi terhadapku kau boleh memanggil Pak-de Guru!” Si gendut Tek Lok yang masih bersedih atas ke matian suhunya memandang tak acuh pada orang itu. Lalu berkata seenaknya, “Manusia jabrik dekil! Aku tidak perduli kau Pak-de, Pak-be, Pak-ce atau Pak-zet sekalipun! Kalau tidak kau bokong aku dari belakang, pasti aku bisa menolong suhu dan suhu tidak sampai digusur ke akhirat!” Habis berkata begitu Tek Lok seperti kalap menyerang si jabrik bermata jereng yang mengaku berjuluk Pendekar Pensiunan Pengemis itu. Yang diserang ganda tertawa lalu gerakkan sedikit tangannya yang memegang tongkat. Blukkkk! Tek Lok jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia mencoba bangkit ujung tongkat si gembel telah menindih jidatnya. Tek Lok merasa seolah kepalanya ditindih sebuah batu besar. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja tidak sanggup menggerakkan kepala apalagi mencoba bangkit berdiri. Muka si gendut ini jadi pucat, keringat dingin mengucur dari kepala sampai selangkangannya! Kini sadarlah Tek Lok kalau dia berhadapan dengan orang yang bukan sembarangan. Si Pak-de ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi luar biasa! “Tek Lok, jangankan kau dan suhumu. Aku sendiri belum tentu mampu menghadapi manusia berjubah kuning bertopi pispot itu. Dia bernama Tong Siam Pah tapi lebih dikenal dengan julukan The Dragon Pispot alias Pendekar Pispot Naga. Selama pispot putih bergambar naga itu masih nongkrong di kepalanya, tidak satu manusiapun bisa mengalahkannya. Juga tidak bangsa iblis atau setan pelayangan. Itulah rahasia kekuatannya!” “Apapun yang teljadi siapapun bangsat itu adanya, aku Tek Lok tetap akan menuntut balas atas kematian suhu dan semua suheng (kakak seperguruan) selta sute (adik seperguruan),” kata Tek Lok seraya kepalkan dua tinjunya lalu dipukul-pukulkan ke pipinya sendiri. “Itu namanya kau murid yang berbakti,” sahut Pendekar Pensiunan Pengemis. “Aku mohon petunjukmu. Tapi halap singkilkan tongkatmu dali jidatku!” kata Tek Lok pula. Gembel berambut jabrik itu menyeringai. Setelah mengangkat tongkat bambunya dari kening Tek Lok dia lalu berkata, “Gendut, kau dengar baik-baik apa yang pinceng mau ucapkan. The Dragon Pispot tidak mungkin dikalahkan selama pispot masih melekat di batok kepalanya. Adalah sangat sukar untuk menyingkirkan benda itu dari kepalanya. Bahkan pada saat mandi atau berak sekalipun, atau tidur benda itu tidak pernah lepas dari kepalanya!” “Tapi selagi dia belnama manusia pasti dia punya kelemahan!” kata Tek Lok pula. Pensiunan Pengemis tersenyum. “Kau cerdik. Memang betul. Dia memang punya kelemahan!” “Apa?!” Tek Lok langsung menyerobot dengan pertanyaan. “Perempuan! Dia selalu lemah terhadap perempuan. Tidak perduli gadis atau yang sudah tua bangka. Tidak perduli si muka licin atau si muka keriputan. Pokoknya masih selama bernama perempuan pasti dikerjainya!” “Kalau begitu aku akan cali akal!” Tek Lok berpikir sejenak. “Pak-de Suhu. Setahuku setiap lelaki pasti punya selela teltentu telhadap pelempuan. Mungkin Pak-de Suhu tahu kila-kila pelempuan yang bagaimana selelanya si Tong Siam Pah itu!” Pendekar Pengemis Purnawirawan alias Pensiunan tertawa mengekeh. “Tek Lok, ternyata kau punya otak cerdik. Selera si Pispot Naga adalah perempuan gemuk buntak besar. Makin besar dan makin gemuk, makin banyak lemaknya apalagi putih, huah! Semakin malele dia!” “Pak-de Suhu, telima kasih atas petunjukmu! Budi baikmu tidak akan aku lupakan!” Tek Lok menjura dalam-dalam lalu tinggalkan tempat itu. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net TIGA SETELAH mendatangi tempat-tempat pelacuran di hampir setengah lusin kota akhirnya di kota Bau Tiut (d/h Bau Ken Tiut), Tek Lok berhasil juga menemui seorang pelacur berbadan luar biasa gemuk serta berkulit putih. Saking gemuknya mukanya yang tembam dan diberi berdandan tebal seronok kelihatan seperti barongsay. Genitnya minta ampun, sebentar-sebentar jari-jarinya mencubit ke sana-sini sambil tertawa cekikikan seperti kuntilanak setengah jadi. Pada pertemuan pertama begitu Tek Lok masuk ke dalam kamarnya, pelacur gendut ini langsung saja bertunabusana alias menanggalkan seluruh pakaiannya. Lalu dia naik ke atas ranjang, melambaikan tangan sambil kedip-kedipkan mata pada Tek Lok dan tentunya tak lupa sambil pasang kuda-kuda! Ranjang reyot itu sampai bergoyang berderak-derik. “Namamu siapa?” tanya Tek Lok tanpa bergerak dari kursi yang didudukinya di depan ranjang. “Ling Ling Dut,” jawab si gemuk, tersenyum kembali, ulurkan lidahnya yang merah basah dan lambaikan tangan memberi isyarat agar si Tek Lok yang juga gendut tambun ini segera naik ke atas ranjang. “Dengal Dut,” kata Tek Lok. “Aku akan membayalmu mahal. Tapi bukan untuk tidul denganmu...” Tentu saja Ling Ling Dut menjadi terheran-heran. Sebagai seorang pelacur baru hari itu ada tamu yang menjanjikan uang tanpa menidurinya. Tek Lok mendekati ranjang lalu berkata mengarang cerita. “Yang akan tidul denganmu bukan aku, tapi pamanku. Dia sedang kulang enak badan. Ambeien alias wasilnya sedang kambuh! Jadi tidak bisa beljalan jauh. Selama ini dia sudah panas dingin mendengal celita olang tentang kebagusan tubuhmu dan kecantikan kau punya palas.” Maksud Tek Lok dengan pamannya itu adalah si Pendekar Pispot Naga alias The Dragon Pispot, musuh besar yang telah menghabisi suhu serta saudara-saudaranya seperguruannya. Ling Ling Dut tertawa cekikikan mendengar cerita sang paman yang sedang wasiran tapi masih berminat untuk bersenang-senang dengan perempuan. Sambil mengusap-usap pusarnya yang terbenam di dalam perutnya yang gembrot berlemak, pelacur kota Bau Tiut ini berkata, “Mendengar cerita pamanmu yang sakit itu, terus terang aku tidak berminat melayaninya. Apalagi sakitnya sakit wasir! Hik... hik! Tapi kau beruntung. Hoki-ku lagi jelek. Sudah seminggu aku tidak menerima tamu. Tapi aku minta bayaran besar!” “Jangan khawatil! Aku akan kasih pelsenan besal. Asal kau jangan lupa melakukan sesuatu yang nanti akan aku beli-tahu padamu!” Tek Lok lalu bicara semacam memberi pengarahan pada pelacur gemuk itu. Ling Ling Dut mengangguk-angguk tanda mengerti. “Sebelum pergi ke tempat pamanmu, apa kau tidak mau bersenang-senang dulu denganku?” tanya Ling Ling Dut, tetapi Tek Lok goyangkan tangan gelengkan kepala. “Kita berdua sama-sama gendutnya. Pasti seru!” kata Ling Ling Dut lalu tertawa cekikikan. “Justlu itu yang bikin aku khawatil. Lanjang boblok itu bisa jebol nanti!” sahut Tek Lok. “Ayo lekas pakai bajumu Dut! Kita belangkat sekalang juga!” *** PENDEKAR Pispot Naga yang kerennya disebut The Dragon Pispot mengucak kedua matanya berulang kali saking tidak percaya akan pemandangan di hadapannya. Seorang perempuan gemuk buntak berlemak tahu-tahu muncul di depan pintu tempat kediamannya yang terletak di tepi danau Xeng Gol. “Hai yaa! Bidadari dari mana yang siang-siang begini turun ke bumi! Kesasar atau memang sengaja mencari diriku?!” menegur Tong Siam Pah sambil kedip-kedipkan matanya. Ling Ling Dut balas tersenyum dan kedip-kedipkan matanya pula. Dadanya yang gembrot sengaja dibusungkan. “Hamba bukan bidadari pulang kesiangan. Tapi hanya manusia biasa juga. Sudah lama hamba mendengar nama besar Pendekar Pispot Naga. Hamba ingin sekali belajar kenal. Sebagai kawan sejalan maupun kawan seranjang...!” Mendengar kata-kata perempuan gemuk itu darah Pendekar Pispot Naga menjadi panas menggelora. Dia tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat ke hadapan Ling Ling Dut. Sekali tarik saja pelacur gemuk itu segera dibawanya masuk ke dalam rumah. Ling Ling Dut tertawa cekikikan. Dekat pintu kamar pakaiannya tersangkut paku hingga robek besar di bagian perut. “Paku jahil!” Pendekar Pispot Naga memarahi paku yang merobek pakaian Ling Ling Dut. Matanya mendelik melihat keputihan perut gembrot perempuan itu. Lalu sambil memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya lelaki berjubah kuning ini pergunakan jari tangannya untuk menekan amblas paku besar itu hingga masuk lenyap ke dalam sanding pintu kayu! “Kau tak usah khawatir! Aku akan belikan baju baru pengganti bajumu yang robek ini!” kata Pendekar Pispot Naga kemudian. “Tidak apa-apa,” jawab Ling Ling Dut. “Bidadari benaran kabarnya memang tidak pakai baju! Hik... hik... hik!” “Kau pandai melucu! Aku suka padamu!” kata Pendekar Pispot Naga. Lalu membantingkan daun pintu. *** Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net EMPAT SEPERTI yang telah dipesankan oleh Tek Lok, begitu masuk ke dalam kamar Ling Ling Dut langsung melompat ke atas tempat tidur besar terbuat dari besi. Lalu cepat-cepat dia membuka pakaian luarnya. Melihat itu tenggorokan Pendekar Pispot Naga jadi turun naik. Matanya berputar membeliak dan nafasnya kontan memburu. Tak mau kalah, dengan mempergunakan jurus “naga mabok menyambar celana dalam” dia segera pula melompat ke atas ranjang. Di atas ranjang Ling Ling Dut sudah pentang diri dalam sikap atau jurus “panda gembrot parkir di bawah pohon bambu”. Begitu Pendekar Pispot Naga membaringkan diri di sampingnya langsung dihimpit dengan pahanya yang besar gembrot dan bukan olah-olah beratnya! Pendekar Pispot Naga sampai setengah menggeliat setengah melintir dihimpit begitu rupa. Nafasnya seolah tertahan di tenggorokan. Tiba-tiba Ling Ling Dut membuat gerakan yang disebut “tringgiling atret ke liang naga”. Dia gulingkan badannya ke sudut ranjang hingga ranjang itu bergoncang keras. “Kekasihku mungil! Mengapa kau menjauhkan diri? Apa mulut atau ketiakku bau tong sampah?!” “Pendekar gagah tujuh penjuru angin!” sahut Ling Ling Dut. “Terus terang nafsu sudah membakar diriku mulai dari ubun-ubun sampai ujung jempol kaki!” “Lalu mengapa kau mendekam di sudut ranjang?” tanya Pendekar Pispot Naga heran. “Soalnya, bagaimana aku bisa bersenang-senang kalau pendekar sendiri masih belum membuka jubah kuning pakaian kebesaran?” Mendengar kata Ling Ling Dut, Tong Siam Pah alias Pendekar Pispot Naga segera tanggalkan jubah kuningnya dan campakkan ke kolong ranjang. “Beres! Sekarang ayo kau buka pakaianmu!” Tangan Tong Siam Pah siap menggerayang kian kemari. “Tentu, untuk kau yang gagah pasti akan kubuka. Tapi engg... Apakah topi kebesaran yang masih bertengger di kepalamu tidak akan mengganggu nantinya? Apalagi aku ini punya kesenangan. Suka menjilati ubun-ubun orang! Hik... hik... hik!” Pendekar Pispot Naga yang sudah dibakar nafsu dan lupa daratan lupa pantangan segera saja menjawab, “Manisku sayang, untuk bidadari sepertimu apapun katamu akan pinceng ikuti!” Lalu Pendekar Pispot Naga angkat pispot putih bergambar naga di kepalanya dan letakkan benda itu di satu meja kecil di samping ranjang. Tanpa pispot itu di kepala, maka kesaktiannyapun ikut berpindah, tidak mendekam lagi di dalam tubuhnya! Setelah meletakkan ‘mahkotanya’ di atas meja kecil, Pendekar Pispot Naga yang sudah tidak sabaran langsung balikkan badan hendak merangkul Ling Ling Dut. Pada saat itulah mendadak pintu kamar didobrak orang dari luar. Sesosok tubuh berkelebat masuk langsung menyambar pispot putih di atas meja. “Siapa kau?!” bentak Pendekar Pispot Naga seraya melompat turun dari ranjang. Satu tangan dikepalkan satu lainnya dipakai untuk menutupi auratnya. Orang yang barusan masuk dan menyambar pispot bukan lain adalah Tek Lok, anak murid perguruan Kungfu Ban Yak Cing Cong yang muncul untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat suhu dan saudara-saudara seperguruannya. “Aku belnama Tek Lok! Anak mulid Pelguluan Ban Yak Cing Cong! Bebelapa bulan lalu kau telah membunuh Tong Pes suhuku selta dua belas saudala sepelguluanku! Hali ini aku datang untuk membalas dendam kematian meleka! Hali ini saatnya kau kukilim menghadap malaikat-malaikat maut Giam Lo Ong!” “Manusia kurang ajar! Lekas kau serahkan pispot itu dan segera minggat dari sini!” bentak Pendekar Pispot Naga dengan suara lantang dan mata membeliak besar. Tek Lok menyeringai buruk dan melintangkan pispot di depan dada. “Kau inginkan pispot bau tahi ini! Silakan ambil!” kata Tek Lok. Lalu dengan jurus “elang juling menyambar kodok buntet” Tek Lok menerjang sambil menghantamkan pispot putih di tangan kanannya. Pendekar Pispot Naga keluarkan seruan tertahan. Tak pernah dibayangkannya kalau topi kebesarannya akan dipergunakan orang untuk menyerang dan menghajar dirinya sendiri! “Sobatku gendut! Kembalikan pispot itu! Apa yang kau orang minta pinceng pasti berikan! Kau mau seratus pispot seperti itu pasti pinceng penuhi! Atau kau mau perempuan gendut ini silakan ambil! Tapi lekas kembalikan pispot itu!” Pendekar Pispot Naga kelihatan ketakutan setengah mati. Dia meminta sambil membungkuk-bungkuk. Benar seperti yang dikatakan Pak-de suhunya Pendekar Pensiunan Pengemis, tanpa pispot di kepala Pendekar Pispot Naga tidak punya daya apa-apa lagi. Malah saat itu kelihatan dia mulai beser terkencing-kencing. Ketika Tek Lok tak mau memberikan pispot dia mulai menyerang. Tapi kungfunya morat-marit tak karuan. Jangankan tenaga dalam, tenaga luarnya saja sudah amblas. Nafasnya ngos-ngosan padahal belum dua jurus menggebrak. Akibatnya sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki menjadi bulan-bulanan serangan pispot putih miliknya sendiri. Mukanya remuk tak karuan. Hidung melesek, mulut pecah, gigi bertanggalan. Bahu kiri patah, siku tangan kanan hancur, tulang dada amblas, tulang iga berpatahan. Darah membasahi hampir setiap sudut badannya. Dalam keadaan seperti itu Tong Siam Pah merangkak mendekati tempat tidur. Dari mulutnya tiada henti keluar suara erangan. Tangannya coba menggapai pinggiran ranjang di mana Ling Ling Dut berada. “Bidadariku... peluk aku... peluk tubuhku. Antarkan aku ke sorga...” “Ihhhh!” Pelacur gemuk Ling Ling Dut memekik antara jijik dan ketakutan. Cepat dia melompat turun dari atas ranjang. Masih belum merapikan pakaiannya dia sudah ulurkan tangan pada Tek Lok. Murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini tanpa banyak cing-cong segera keluarkan lima tail perak lalu letakkan di atas telapak tangan Ling Ling Dut yang terkembang. Sebelum meninggalkan kamar Tek Lok memandang sejurus pada sosok Tong Siam Pah yang tidak berkutik lagi. “Masih untung kau menemui ajal! Kalau masih hidup julukanmu pasti diganti menjadi Pendekal Pispot Bonyok!” Tek Lok letakkan pispot putih milik Tong Siam Pah di atas kepalanya. Sambil melangkah pergi tinggalkan danau Xeng Gol murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini bersiul-siul menyanyikan lagu kesayangannya yang bernama Di Dadamu Ada Pinceng. *** TAMAT Selanjutnya: Wadam Sinting Pengacau Dunia Gudang Ebook (ebookHP.com) http://www.zheraf.net